Jumat, 24 Februari 2017

Ponorogo : Cerita Budaya, Agama dan Modernitas


Hening dan sunyi Kota Ponorogo. Kota ini damai dan santun, ramah dan menjunjung tinggi etika bagi setiap orang yang tinggal di dalamnya. Religius karena banyak pesantrennya dan tradisional karena budayanya. Kadang semuanya membaur menjadi satu peradaban. Hidup berdampingan penuh toleran. Tradisi budaya berbau magis dan mistis. Beberapa tempat dijadikan keramat, benda antik dipelihara dan dipuja, orang sakti mengalahkan segalanya, dukun, sesepuh dan orang pintar didatangi, pawang hujan pun tidak pernah absen dari perhelatan hajat besar di Kota Reog ini. Ini peradaban yang kuat sampai era-90 an.

Hal berbalik juga terjadi, banyak pesantren berdiri di kota ini. Santri pun datang dari pelosok negeri. Kota ini pun juga mendapat julukan kota santri.

Disinilah sesungguhnya toleransi dimulai. Agama bukan suatu alat untuk memperdaya, namun kiblat setiap muslim berbenah. Agama tetap agama, budaya tetap budaya, keduanya berjalan tanpa ada perdebatan panjang. Magis dan mistis mulai tergerus oleh zaman, dukun dan orang pintar tidak banyak yang meneruskan. Namun, bukan berarti budaya tidak berjalan. Budaya tetap berjalan, 'Grebeg Suro' adalah hajat besar masyarakat Ponorogo, diawali dari festival Reog, pasar rakyat dan pasar malam, menyucikan keris pusaka, larung sesajen di Telaga Ngebel dan ditutup dengan kirap pusaka. Kekuatan magis diikutsertakan, 'Pawang Hujan' terutama, ia menjadi tokoh utama kesuksesan acara. Namun, bagaimana dengan turunnya hujan di kirap budaya pada dua tahun belakangan? apakah unsur magis sudah tiada?

Ini adalah kisah panjang masa lalu dan sekarang.

Dulu kekuatan magis memang masih kental, itu cerita dan kononnya. Dan sekarang pun mungkin masih ada dan dipercaya, meskipun sedikit hilang tergerus waktu, namun yang terpenting budaya ini masih terjaga. Masyarakat tetap dengan pedoman agamanya, dan masih menjunjung budayanya. 'Grebeg Suro' seolah hiburan untuk rakyat yang melegenda di setiap tahunnya. Kirap pusaka menjadi tontonan gratis, masyarakat berkumpul memadati pusat kota. Kota ini penuh sesak oleh setiap warga yang akan menyaksikannya. Kapan lagi kota ini akan ramai, jika bukan karena 'Grebeg Suro' dan 'Lebaran' tiba? Inilah faktanya, Budaya dan Agama menjadi dua alasan akan keramaian kota. Selebihnya kembali hening dan sepi.

Kembali hening dan sepi bukan berarti mati. Kota ini tetap ramai di sudut pedesaan, di pasar tradisional dan di persawahan. Indah dan bersinergi, tradisional namun bersemangat. Kini sedikit demi sedikit, titik kota menjadi destinasi wisata orang desa. Ketika aktivitas kerja telah usai, mereka dapat menghibur diri, bioskop telah ada di kota ini, pusat perbelanjaan semakin banyak pilihan, tempat ngopi dengan wi-fi pun sudah menjamur dipadati pemuda masa kini. Ternyata di abad ini modernitas telah memperkenalkan diri.

Selamat datang modernitas di kota Reog ini.

Perkenalkan dirimu dengannya, tanpa ada carut marut dengan Budaya dan Agama. Sekarang waktunya menjadi masyarakat yang cerdas. Tetap maju dengan modernitas, tetap menjaga budaya dan kuat dengan agama. Sudah siapkah kalian semua?

Tradisi Kirap Budaya
 





Jumat, 20 Januari 2017

Tuan yang Memiliki Batas



 Foto : Dokumen Pribadi sebagai Ilustrasi

Perputaran waktu adalah keniscayaan yang tidak bisa siapapun hindari. Terus bergulir tanpa jeda untuk berhenti.  Waktu membuat segalanya menjadi tumbuh atau mati. Tubuh dan jiwa pada akhirnya ditentukan perpisahannya oleh tangan waktu yang kadang tidak perlu menunggu tua atau rapuh. Setiap detik menggerus dan mengambil, tidak peduli kapan, sekarang atau nanti. Ketidak-berdayaan membuat segalanya seperti menunggu kepastian yang dijanjikan. Yang berlari selalu dikejar, dan yang hilang selalu dicari, berhenti bukan keputusasaan, hanya pilihan jika sudah lelah. 

Waktu menuntut segalanya untuk dikenang, memaksa apa yang dipunya untuk direlakan, menasehati yang dikuasainya untuk dikhlaskan. Karena dia (waktu) yang menentukan kapan segalanya yang dipunya dan dikuasai untuk dikembalikan pada Tuan-nya. 

Selama dia masih ada, tidak ada keabadian yang bisa dinikmati. Semua menjadi terbatas dan dibatasi. Pada akhirnya hidup hanya metamorfosis dari air mani, menjadi manusia yang berumur dan mati. Karena hidup tidak seperti siklus air yang bisa menguap menuju langit, memadat dan dicairkan kembali menjadi hujan yang membasahi tubuh bumi. Perumpamaan itu juga tidak sama. Karena yang mati tidak akan bisa hidup, tetapi yang hidup akan menjadi satu dengan yang mati. 

Tidak perlu menjadi ketergesaan karena waktu akan mematikan, juga tidak perlu menjadi terburu karena waktu yang dijanjikan akan tiba. Karena tujuan hidup bukan untuk mati, tetapi waktu memberi kesempatan untuk segalanya menikmati hidup. 

Tetapi, jangan sekali-kali kita menuntut kebebasan untuk sebenar-benarnya memburu yang nikmat itu. Waktu memiliki Tuan dan ketidak-berdayaan, itulah ke-abadi-an. Tidak ada lagi waktu yang membatasi, karena tidak ada lagi jasad. Waktu akan diusir, dari dunia yang tidak akan pernah siapapun tau, sampai waktu itu sendiri tidak berdaya dibawah kaki Tuannya. Pada akhirnya kita bisa merasakan menjadi abadi, selayaknya yang kita pilih dalam kesempatan hidup yang diberikan waktu di dunia yang memiliki batas. 

Lalu siapa kita?. Siapapun kita, kita hanya mencoba memahami jeda waktu. (Dd, 21/01/17)